Tuesday, November 17, 2009
Kasus Pelanggaran Etika Bisnis
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kita mengenal beberapa perusahaan monopoli di Indonesia. Perusahaan-perusahaan n kami dalam tujuan tersebut diberi mandat untuk menyediakan kebutuhan masyarakat di Indonesia. Salah satu Perusahaan tersebut adalah PT. X.
PT. X merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberikan mandat untuk menyediakan kebutuhan listrik di Indonesia. Seharusnya sudah menjadi kewajiban bagi PT. X untuk memenuhi itu semua, namun pada kenyataannya masih banyak kasus dimana mereka merugikan masyarakat. Kasus ini menjadi menarik karena disatu sisi kegiatan monopoli mereka dimaksudkan untuk kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai UUD 1945 Pasal 33, namun disisi lain tindakan PT. X justru belum atau bahkan tidak menunjukkan kinerja yang baik dalam pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat.
Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana PT. X sebagai perusahaan monopoli berkaitan dengan etika bisnis, disertai beberapa contoh kasus yang pernah ada.
1.2 Batasan Masalah
Dalam makalah ini hanya dibahas tentang pelanggaran berkaitan dengan etika bisnis yang dilakukan oleh PT. X.
1.3 Tujuan
Adapun maksud dan tujuan kami dalam penulisan makalah ini adalah untuk melengkapi syarat dalam mata kuliah Etika Bisnis, untuk memperkenalkan pelanggaran yang dilakukan oleh PT X kepada para mahasiswa untuk menambah pengetahuan dan wawasan.
BAB II
ISI
2.1 Pengertian monopoli
Monopoli adalah suatu situasi dalam pasar dimana hanya ada satu atau segelintir perusahaan yang menjual produk atau komoditas tertentu yang tidak punya pengganti yang mirip dan ada hambatan bagi perusahaan atau pengusaha lain untuk masuk dalam bidan industri atau bisnis tersebut. Dengan kata lain, pasar dikuasai oleh satu atau segelintir perusahaan, sementara pihak lain sulit masuk didalamnya. Karena itu, hampir tidak ada persaingan berarti.
Secara umum perusahaan monopoli menyandang predikat jelek karena di konotasikan dengan perolehan keuntungan yang melebihi normal dan penawaran komoditas yang lebih sedikit bagi masyarakat, meskipun dalam praktiknya tidak selalu demikian. Dalam ilmu ekonomi dikatakan ada monopoli jika seluruh hasil industri diproduksi dan dijual oleh satu perusahaan yang disebut monopolis atau perusahaan monopoli.
2.2 Jenis monopoli
Ada dua macam monopoli. Pertama adalah monopoli alamiah dan yang kedua adalah monopoli artifisial. Monopoli alamiah lahir karena mekanisme murni dalam pasar. Monopoli ini lahir secara wajar dan alamiah karena kondisi objektif yang dimiliki oleh suatu perusahaan, yang menyebabkan perusahaan ini unggul dalam pasar tanpa bisa ditandingi dan dikalahkan secara memadai oleh perusahaan lain. Dalam jenis monopoli ini, sesungguhnya pasar bersifat terbuka. Karena itu, perusahaan ain sesungguhnya bebas masuk dalam jenis industri yang sama. Hanya saja, perusahaan lain tidak mampu menandingi perusahaan monopolistis tadi sehingga perusahaan yang unggul tadi relatif menguasasi pasar dalam jenis industri tersebut.
Yang menjadi masalah adalah jenis monopoli yang kedua, yaitu monopoli artifisial. Monopoli ini lahir karena persekongkolan atau kolusi politis dan ekonomi antara pengusaha dan penguasa demi melindungi kepentingan kelompok pengusaha tersebut. Monopoli semacam ini bisa lahir karena pertimbangan rasional maupun irasional. Pertimbangan rasional misalnya demi melindungi industri industri dalam negeri, demi memenuhi economic of scale, dan seterusnya. Pertimbangan yang irasional bisa sangat pribadi sifatnya dan bisa dari yang samar-samar dan besar muatan ideologisnya sampai pada yang kasar dan terang-terangan. Monopoli ini merupakan suatu rekayasa sadar yang pada akhirnya akan menguntungkan kelompok yang mendapat monopoli dan merugikan kepentingan kelompok lain, bahkan kepentingan mayoritas masyarakat.
2.3 Ciri pasar monopoli
Adapun yang menjadi ciri-ciri dari pasar monopoli adalah:
1. Pasar monopoli adalah industri satu perusahaan. Dari definisi monopoli telah diketahui bahwa hanya ada satu saja perusahaan dalam industri tersebut. Dengan demikian barang atau jasa yang dihasilkannya tidak dapat dibeli dari tempat lain. Para pembeli tidak mempunyai pilihan lain, kalau mereka menginginkan barang tersebut maka mereka harus membeli dari perusahaan monopoli tersebut. Syarat-syarat penjualan sepenuhnya ditentukan oleh perusahaan monopoli itu, dan konsumen tidak dapat berbuat suatu apapun didalam menentukan syarat jual beli.
2. Tidak mempunyai barang pengganti yang mirip. Barang yang dihasilkan perusahaan monopoli tidak dapat digantikann oleh barag lain yang ada didalam pasar. Barang-barang tersebut merupakan satu-satunya jenis barang yang seperti itu dan tidak terdapat barang mirip yang dapat menggantikan.
3. Tidak terdapat kemungkinan untuk masuk kedalam industri. Sifat ini merupakan sebab utama yang menimbulkan perusahaan yang mempunyai kekuasaan monopoli. Keuntungan perusahaan monopoli tidak akan menyebabkan perusahaan-perusahaan lain memasuki industri tersebut.
4. Dapat mempengaruhi penentuan harga. Oleh karena perusahaan monopoli merupakan satu-satunya penjual didalam pasar, maka penentuan harga dapat dikuasainya. Oleh sebab itu perusahaan monopoli dipandang sebagai penentu harga.
5. Promosi iklan kurang diperlukan. Oleh karena perusahaan monopoli adalah satu-satunya perusahaan didalam industri, ia tidak perlu mempromosikan barangnya dengan menggunakan iklan. Walau ada yang menggunakan iklan, iklan tersebut bukanlah bertujuan untuk menarik pembeli, melainkan untuk memelihara hubungan baik dengan masyarakat.
2.4 Undang-undang tentang monopoli
Terlepas dari kenyataan bahwa dalam situasi tertentu kita membutuhkan perusahaan besar dengan kekuatan ekonomi yang besra, dalam banyak hal praktik monopoli, oligopoli, suap, harus dibatasi dan dikendalikan, karena bila tidak dapat merugikan kepentingan masyarakat pada umumnya dan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Strategi yang paling ampuh untuk itu, sebagaimana juga ditempuh oleh Negara maju semacam Amerika, adalah melalui undang-undang anti-monopoli.
Di Indonesia untuk mengatur praktik monopoli telah dibuat sebuah undang-undang yang mengaturnya. Undang-undang itu adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang ini menerjemahkan monopoli sebagai suatu tindakan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Sedangkan praktik monopoli pada UU tersebut dijelaskan sebagai suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. UU ini dibagi menjadi 11 bab yang terdiri dari beberapa pasal.
2.5 Contoh Kasus
PT. X adalah perusahaan pemerintah yang bergerak di bidang pengadaan listrik nasional. Hingga saat ini, PT. X masih merupakan satu-satunya perusahaan listrik sekaligus pendistribusinya. Dalam hal ini PT. X sudah seharusnya dapat memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakat, dan mendistribusikannya secara merata.
Usaha PT. X termasuk kedalam jenis monopoli murni. Hal ini ditunjukkan karena PT. X merupakan penjual atau produsen tunggal, produk yang unik dan tanpa barang pengganti yang dekat, serta kemampuannya untuk menerapkan harga berapapun yang mereka kehendaki.
Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa sumber daya alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sehingga. Dapat disimpulkan bahwa monopoli pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya ada pada negara. Pasal 33 mengamanatkan bahwa perekonomian Indonesia akan ditopang oleh 3 pemain utama yaitu koperasi, BUMN/D (Badan Usaha Milik Negara/Daerah), dan swasta yang akan mewujudkan demokrasi ekonomi yang bercirikan mekanisme pasar, serta intervensi pemerintah, serta pengakuan terhadap hak milik perseorangan. Penafsiran dari kalimat “dikuasai oleh negara” dalam ayat (2) dan (3) tidak selalu dalam bentuk kepemilikan tetapi utamanya dalam bentuk kemampuan untuk melakukan kontrol dan pengaturan serta memberikan pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada azas kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Contoh kasus monopoli yang dilakukan oleh PT. X adalah:
1. Fungsi PT. X sebagai pembangkit, distribusi, dan transmisi listrik mulai dipecah. Swasta diizinkan berpartisipasi dalam upaya pembangkitan tenaga listrik. Sementara untuk distribusi dan transmisi tetap ditangani PT. X. Saat ini telah ada 27 Independent Power Producer di Indonesia. Mereka termasuk Siemens, General Electric, Enron, Mitsubishi, Californian Energy, Edison Mission Energy, Mitsui & Co, Black & Veath Internasional, Duke Energy, Hoppwell Holding, dan masih banyak lagi. Tetapi dalam menentukan harga listrik yang harus dibayar masyarakat tetap ditentukan oleh PT. X sendiri.
2. Krisis listrik memuncak saat PT. X Perusahaan Listrik Negara (PT. X) memberlakukan pemadaman listrik secara bergiliran di berbagai wilayah termasuk Jakarta dan sekitarnya, selama periode 11-25 Juli 2008. Hal ini diperparah oleh pengalihan jam operasional kerja industri ke hari Sabtu dan Minggu, sekali sebulan. Semua industri di Jawa-Bali wajib menaati, dan sanksi bakal dikenakan bagi industri yang membandel. Dengan alasan klasik, PLN berdalih pemadaman dilakukan akibat defisit daya listrik yang semakin parah karena adanya gangguan pasokan batubara pembangkit utama di sistem kelistrikan Jawa-Bali, yaitu di pembangkit Tanjung Jati, Paiton Unit 1 dan 2, serta Cilacap. Namun, di saat yang bersamaan terjadi juga permasalahan serupa untuk pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) PLTGU Muara Tawar dan PLTGU Muara Karang.
Dikarenakan PT. X memonopoli kelistrikan nasional, kebutuhan listrik masyarakat sangat bergantung pada PT. X, tetapi mereka sendiri tidak mampu secara merata dan adil memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya daerah-daerah yang kebutuhan listriknya belum terpenuhi dan juga sering terjadi pemadaman listrik secara sepihak sebagaimana contoh diatas. Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi masyarakat, dan investor menjadi enggan untuk berinvestasi.
2.6 Monopoli PT. X ditinjau dari teori etika deontologi
Konsep teori etika deontologi ini mengemukakan bahwa kewajiban manusia untuk bertindak secara baik, suatu tindakan itu bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri dan harus bernilai moral karena berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang baik dari pelaku.
Dalam kasus ini, PT. X (Persero) sesungguhnya mempunyai tujuan yang baik, yaitu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Akan tetapi tidak diikuti dengan perbuatan atau tindakan yang baik, karena PT. X belum mampu memenuhi kebutuhan listrik secara adil dan merata. Jadi menurut teori etika deontologi tidak etis dalam kegiatan usahanya.
2.7 Monopoli PT. X ditinjau dari teori etika teleologi
Berbeda dengan etika deontologi, etika teleologi justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang akan dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Dalam kasus ini, monopoli di PT. X terbentuk secara tidak langsung dipengaruhi oleh Pasal 33 UUD 1945, dimana pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya ada pada negara untuk kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka PT. X dinilai etis bila ditinjau dari teori etika teleologi.
2.8 Monopoli PT. X ditinjau dari teori etika utilitarianisme
Etika utilitarianisme adalah teori etika yang menilai suatu tindakan itu etis apabila bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang. Tindakan PT. X bila ditinjau dari teori etika utilitarianisme dinilai tidak etis, karena mereka melakukan monopoli. Sehingga kebutuhan masyarakat akan listrik sangat bergantung pada PT. X.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa PT. X Perusahaan Listrik Negara (Persero) telah melakukan tindakan monopoli, yang menyebabkan kerugian pada masyarakat. Tindakan PT. X ini telah melanggar Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
3.2 Saran
Untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakat secara adil dan merata, ada baiknya Pemerintah membuka kesempatan bagi investor untuk mengembangkan usaha di bidang listrik. Akan tetapi Pemerintah harus tetap mengontrol dan memberikan batasan bagi investor tersebut, sehingga tidak terjadi penyimpangan yang merugikan masyarakat. Atau Pemerintah dapat memperbaiki kinerja PT. X saat ini, sehingga menjadi lebih baik demi tercapainya kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat banyak sesuai amanat UUD 1945 Pasal 33.
DAFTAR PUSTAKA
http://lppcommunity.wordpress.com/2009/01/08/etika-bisnis-monopoli-kasus-pt-perusahaan-listrik-negara/
http://bekasinews.com/serba-sebi/opini/1422-pemadaman-listrik-pt-pln-menjual-barang-yang-cacat-produk.html
http://news.okezone.com/read/2008/06/20/220/120494/220/monopoli-pln
http://www.ptpjb.com/iframe_news_content.php?n=579
Sunday, October 11, 2009
Artikel etika bisnis
PERANAN ETIKA BISNIS DAN MORALITAS AGAMA DALAM IMPLEMENTASI GCG
(Artikel ini telah dimuat di Jurnal Keuangan & Perbankan (JKP), Vol. 2 No.1, Desember 2005, Hlm.49 – 58, ISSN : 1829-9865, Jurnal Ilmiah yang diterbitkan oleh STIE Lembaga Pendidikan Perbankan Indonesia (LPPI)/ Indonesia Banking School)
Oleh : Muh. Arief Effendi,SE,MSi,Ak,QIA *
Abstract
Business Ethic plays important role in the frame of implementing Good Corporate Governance (GCG). Code of Corporate and Business Conduct constitutes the guidance for the whole employees and board of management in conducting daily activities. The moral movement of Cleanness, Transparency and Professionalism, contains moral values and universal basic principles of GCG. In USA, there had been an unethical business practices, let say, Enron Gate and WorldCom Gate. This scandal happened because of the ignorance of several aspects contained within GCG principles, especially transparency, disclosure, and accountability principles within corporate management.
Key words : business ethics, GCG implementation, basic principles, moral values.
PENDAHULUAN
Pada saat ini Good Corporate Governance (GCG) merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, namun diberbagai perusahaan ternyata masih sebatas retorika saja. Hal ini dimungkinkan karena banyak perusahaan yang menganggap implementasi GCG sebagai suatu beban dan bukan merupakan suatu kebutuhan. Selain itu, belum adanya sanksi yang tegas dari Pihak regulator (Pemerintah) bagi perusahaan yang tidak menerapkan GCG, menyebabkan perusahaan enggan dan merasa tidak perlu GCG. Di beberapa Negara maju, GCG saat ini sudah dianggap sebagai suatu asset perusahaan yang banyak mendatangkan beberapa manfaat, misalnya GCG dapat meningkatkan nilai tambah (value added) bagi pemegang saham dan mempermudah akses ke pasar modal domestik maupun global (internasional) serta memperoleh citra (image) yang positif dari publik.
PENGERTIAN TENTANG GCG
Pengertian GCG menurut Bank Dunia (World Bank) adalah kumpulan hukum, peraturan, dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan. Lembaga Corporate Governance di Malaysia yaitu Finance Committee on Corporate Governance (FCCG) mendifinisikan corporate governance sebagai proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis dan aktivitas perusahaan ke arah peningkatan pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas perusahaan.
Berdasarkan Pasal 1 Surat Keputusan Menteri BUMN No. 117/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang penerapan GCG pada BUMN, disebutkan bahwa Corporate governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika.Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas, secara singkat GCG dapat diartikan sebagai seperangkat sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) bagi stakeholders.
PRINSIP-PRINSIP GCG
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yang beranggotakan beberapa negara antara lain, Amerika Serikat, Negara-negara Eropa (Austria, Belgia, Denmark, Irlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Italia, Luxemburg, Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Swedia, Swis, Turki, Inggris) serta Negara-negara Asia Pasific (Australia, Jepang, Korea, Selandia Baru) pada April 1998 telah mengembangkan The OECD Principles of Corporate Governance.Prinsip-prinsip corporate governance yang dikembangkan oleh OECD meliputi 5 (lima) hal yaitu :
1. Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham (The Rights of shareholders).
2. Perlakuan yang sama terhadap seluruh pemegang saham (The Equitable Treatment of Shareholders);
3. Peranan Stakeholders yang terkait dengan perusahaan (The Role of Stakeholders).
4. Keterbukaan dan Transparansi (Disclosure and Transparency).
5. Akuntabilitas Dewan Komisaris / Direksi (The Responsibilities of The Board).
Prinsip-prinsip GCG sesuai pasal 3 Surat Keputusan Menteri BUMN No. 117/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang penerapan GCG pada BUMN sebagai berikut :
1. Transparansi (transparency) : keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan mengemukakan informasi materil yang relevan mengenai perusahaan.
2. Pengungkapan (disclosure) : penyajian informasi kepada stakeholders, baik diminta maupun tidak diminta, mengenai hal-hal yang berkenaan dengan kinerja operasional, keuangan, dan resiko usaha perusahaan.
3. Kemandirian (independence) : suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
4. Akuntabilitas (accountability) : kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban Manajemen perusa-haan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif dan ekonomis.
5. Pertanggungjawaban (responsibility) : kesesuaian dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
6. Kewajaran (fairness) : keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PERANAN ETIKA BISNIS DALAM PENERAPAN GCG
1. Code of Corporate and Business Conduct
Kode Etik dalam tingkah laku berbisnis di perusahaan (Code of Corporate and Business Conduct)” merupakan implementasi salah satu prinsip Good Corporate Governance (GCG). Kode etik tersebut menuntut karyawan & pimpinan perusahaan untuk melakukan praktek-praktek etik bisnis yang terbaik di dalam semua hal yang dilaksanakan atas nama perusahaan. Apabila prinsip tersebut telah mengakar di dalam budaya perusahaan (corporate culture), maka seluruh karyawan & pimpinan perusahaan akan berusaha memahami dan berusaha mematuhi “mana yang boleh” dan “mana yang tidak boleh” dilakukan dalam aktivitas bisnis perusahaan. Pelanggaran atas Kode Etik merupakan hal yang serius, bahkan dapat termasuk kategori pelanggaran hukum.
2. Nilai Etika Perusahaan
Kepatuhan pada Kode Etik ini merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan dan memajukan reputasi perusahaan sebagai karyawan & pimpinan perusahaan yang bertanggung jawab, dimana pada akhirnya akan memaksimalkan nilai pemegang saham (shareholder value). Beberapa nilai-nilai etika perusahaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip GCG, yaitu kejujuran, tanggung jawab, saling percaya, keterbukaan dan kerjasama. Kode Etik yang efektif seharusnya bukan sekedar buku atau dokumen yang tersimpan saja. Namun Kode Etik tersebut hendaknya dapat dimengerti oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan dan akhirnya dapat dilaksanakan dalam bentuk tindakan (action). Beberapa contoh pelaksanaan kode etik yang harus dipatuhi oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan, antara lain masalah informasi rahasia dan benturan kepentingan (conflict of interest).
a. Informasi rahasia
Seluruh karyawan harus dapat menjaga informasi rahasia mengenai perusahaan dan dilarang untuk menyebarkan informasi rahasia kepada pihak lain yang tidak berhak. Informasi rahasia dapat dilindungi oleh hukum apabila informasi tersebut berharga untuk pihak lain dan pemiliknya melakukan tindakan yang diperlukan untuk melindunginya. Beberapa kode etik yang perlu dilakukan oleh karyawan yaitu harus selalu melindungi informasi rahasia perusahaan dan termasuk Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) serta harus memberi respek terhadap hak yang sama dari pihak lain. Selain itu karyawan juga harus melakukan perlindungan dengan seksama atas kerahasiaan informasi rahasia yang diterima dari pihak lain. Adanya kode etik tersebut diharapkan dapat terjaga hubungan yang baik dengan pemegang saham (share holder), atas dasar integritas (kejujuran) dan transparansi (keterbukaan), dan menjauhkan diri dari memaparkan informasi rahasia. Selain itu dapat terjaga keseimbangan dari kepentingan perusahaan dan pemegang sahamnya dengan kepentingan yang layak dari karyawan, pelanggan, pemasok maupun pemerintah dan masyarakat pada umumnya.
b. Conflict of interrest
Seluruh karyawan & pimpinan perusahaan harus dapat menjaga kondisi yang bebas dari suatu benturan kepentingan (conflict of interest) dengan perusahaan. Suatu benturan kepentingan dapat timbul bila karyawan & pimpinan perusahaan memiliki, secara langsung maupun tidak langsung kepentingan pribadi didalam mengambil suatu keputusan, dimana keputusan tersebut seharusnya diambil secara obyektif, bebas dari keragu-raguan dan demi kepentingan terbaik dari perusahaan. Beberapa kode etik yang perlu dipatuhi oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan, antara lain menghindarkan diri dari situasi (kondisi) yang dapat mengakibatkan suatu benturan kepentingan. Selain itu setiap karyawan & pimpinan perusahaan yang merasa bahwa dirinya mungkin terlibat dalam benturan kepentingan harus segera melaporkan semua hal yang bersangkutan secara detail kepada pimpinannya (atasannya) yang lebih tinggi. Terdapat 8 (delapan) hal yang termasuk kategori situasi benturan kepentingan (conflict of interest) tertentu, sebagai berikut :
1). Segala konsultasi atau hubungan lain yang signifikan dengan, atau berkeinginan mengambil andil di dalam aktivitas pemasok, pelanggan atau pesaing (competitor).
2) Segala kepentingan pribadi yang berhubungan dengan kepentingan perusahaan.
3) Segala hubungan bisnis atas nama perusahaan dengan personal yang masih ada hubungan keluarga (family), atau dengan perusahaan yang dikontrol oleh personal tersebut.
4) Segala posisi dimana karyawan & pimpinan perusahaan mempunyai pengaruh atau kontrol terhadap evaluasi hasil pekerjaan atau kompensasi dari personal yang masih ada hubungan keluarga .
5) Segala penggunaan pribadi maupun berbagi atas informasi rahasia perusahaan demi suatu keuntungan pribadi, seperti anjuran untuk membeli atau menjual barang milik perusahaan atau produk, yang didasarkan atas informasi rahasia tersebut.
6) Segala penjualan pada atau pembelian dari perusahaan yang menguntungkan pribadi.
7) Segala penerimaan dari keuntungan, dari seseorang / organisasi / pihak ketiga yang berhubungan dengan perusahaan.
8). Segala aktivitas yang terkait dengan insider trading atas perusahaan yang telah go public, yang merugikan pihak lain.
c. Sanksi
Setiap karyawan & pimpinan perusahaan yang melanggar ketentuan dalam Kode Etik tersebut perlu dikenakan sanksi yang tegas sesuai dengan ketentuan / peraturan yang berlaku di perusahaan, misalnya tindakan disipliner termasuk sanksi pemecatan (Pemutusan Hubungan Kerja). Beberapa tindakan karyawan & pimpinan perusahaan yang termasuk kategori pelanggaran terhadap kode etik, antara lain mendapatkan, memakai atau menyalahgunakan asset milik perusahaan untuk kepentingan / keuntungan pribadi, secara fisik mengubah atau merusak asset milik perusahaan tanpa izin yang sesuai dan menghilangkan asset milik perusahaan .Untuk melakukan pengujian atas Kepatuhan terhadap Kode Etik tersebut perlu dilakukan semacam audit kepatuhan (compliance audit) oleh pihak yang independent, misalnya Internal Auditor, sehingga dapat diketahui adanya pelanggaran berikut sanksi yang akan dikenakan terhadap karyawan & pimpinan perusahaan yang melanggar kode etik.Akhirnya diharpkan para karyawan maupun pimpinan perusahaan mematuhi Code of Corporate & Business Conduct yang telah ditetapkan oleh perusahaan sebagai penerapan GCG.
GERAKAN MORAL BERSIH TRANSPARAN & PROFESIONAL (BTP) SEBAGAI IMPLEMENTASI GCG
1. Konsep BTP
Salah satu langkah awal yang dapat dilakukan oleh perusahaan dalam menerapkan Good Corporate Governance (GCG), adalah melalui Gerakan Moral Bersih Transparan dan Profesional (BTP). Gerakan Moral BTP di Perusahaan perlu dilakukan dengan penuh kesadaran serta konsisten, sehingga diharapkan dapat mendorong kemajuan perusahaan dengan langkah yang memenuhi etika bisnis. Nilai dasar (basic value) yang terkandung dalam istilah Bersih-Transparan-Profesional, sebagai berikut :
a. Dalam istilah “Bersih (Clean)”, terkandung nilai integritas (integrity), kredibilitas (credibility), jujur (honest), anti Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN).Segenap karyawan dan pimpinan perusahaan diharapkan dapat berperilaku jujur, menjunjung tinggi integritas dan kredibilitas serta mempunyai sikap anti KKN.
b. Dalam istilah “Transparan (transparency)”, terkandung nilai akuntabilitas (accountability), bertanggungjawab (responsibility), keterbukaan serta auditable. Segenap karyawan dan pimpinan perusahaan diharapkan dapat berperilaku penuh rasa tanggung jawab, terbuka, serta dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada pihak-pihak berwenang.
c. Dalam istilah “Profesional (Professionalism)”, terkandung nilai kepatuhan (compliance), kapabilitas (capability) serta kemampuan (competency). Segenap karyawan dan pimpinan perusahaan diharapkan dapat bekerja dengan trampil, teliti, akurat dan tepat waktu. Selain itu juga perlu memiliki jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) serta berani mengambil risiko untuk mencapai keunggulan kompetitif (competitive advantage) Perusahaan. Hal yang tidak kalah penting, adalah adanya kepatuhan seluruh pelaku dalam perusahaan terhadap segala peraturan perundang-undangan dan peraturan perusahaan yang berlaku.
2. Tujuan Gerakan BTP
Gerakan moral BTP di perusahaan dilakukan dengan tujuan agar :
a. Terwujudnya Good Corporate Governance secara konsisten dan berkesinambungan di perusahaan.
b. Terbentuknya budaya baru perusahaan (new corporate culture) yang mendukung peningkatan kinerja perusahaan secara keseluruhan.
c. Terbangunnya citra perusahaan (corporate image) yang baik, dimata stake holders, masyarakat dan pihak luar perusahaan lainnya.
d. Terhindarnya praktik-praktek KKN yang sangat merugikan perusahaan.
3. Pedoman Perilaku
Dalam pedoman Perilaku Etika Perusahaan (code of corporate conduct/Ethics), yang ditetapkan oleh Direksi, terkandung nilai-nilai etika / moral yang menjadi acuan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Berikut ini diberikan beberapa contoh perilaku yang terkait dengan Gerakan Moral BTP, sebagai berikut :
a. Gerakan Moral “Bersih”.
1). Tidak melakukan suatu perbuatan tercela .
Segenap karyawan dan pimpinan perusahaan diharapkan dapat perbuatan-perbuatan yang melanggar etika / moral, hukum, ketentuan-ketentuan perusahaan maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2). Tidak melakukan praktek Kolusi, Korupsi, Nepotisme (KKN).
Korupsi berarti menyelewengkan atau menggelapkan asset perusahaan untuk keuntungan pribadi atau pihak lain dan merugikan perusahaan / negara. Kolusi berarti bekerja sama dengan pihak lain, baik secara pribadi atau bersama-sama, untuk mengambil keuntungan dengan melakukan perbuatan yang menyebabkan perusahaan mengalami kerugian. Nepotisme berarti perbuatan yang hanya memberikan keuntungan pada keluarga, teman-teman, kerabat dan seterusnya, yang dapat merugikan perusahaan.
3). Tidak menerima pemberian apapun.
Tidak menerima uang, hadiah dan atau pemberian dalam bentuk apa saja dari siapapun juga yang diketahui atau patut diduga bahwa pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan yang dapat menyebabkan penyimpangan pelaksanaan tugas dan/atau pengambilan keputusan.
4). Selalu bersikap Jujur .
Jujur berarti tindakan yang dilakukan sesuai dengan perkataan dan hati nuraninya atau satunya kata dan tindakan (tidak munafik).
b. Gerakan Moral “Transparan”.
Transparan berarti segala kegiatan yang dilaksanakan, informasi yang dimiliki, dapat diketahui dan diawasi oleh pihak lain yang berwenang. Tidak ada sesuatu hal yang ditutup-tutupi (disembunyikan) dan tidak ada yang dirahasiakan. Transparan sangat menuntut kejelasan siapa dan berbuat apa serta bagaimana melaksanakannya.
c. Gerakan Moral “Profesional”.
Bersikap profesional berarti memiliki tekad bekerja secara sungguh-sungguh untuk memberikan hasil kerja (kinerja) terbaik dengan mengerahkan segenap kompetensi yang dimiliki secara optimal.
1). Memberikan hasil (output) yang terbaik .
Bekerja secara profesional ditunjukkan dengan ketekunan, ketelitian, kerja keras, disiplin tinggi, serta berusaha memberikan hasil (output) yang terbaik bagi perusahaan,
2). Memiliki visi yang jelas dan kompetensi yang memadai.
Profesionalisme menuntut segenap karyawan dan pimpinan perusahaan memiliki visi yang jelas dan kompetensi yang memadai. Visi yang jelas akan lebih fokus terhadap apa yang dicita-citakan dan kompetensi yang memadai akan mengoptimalkan pekerjaan sehingga dapat memberikan hasil terbaik kepada perusahaan serta dapat memacu kinerjanya.
3). Dapat bekerjasama dalam kelompok (teamwork).
Kesuksesan perusahaan tidak hanya ditentukan oleh kesuksesan individual melainkan lebih ditentukan oleh hasil kerja kelompok.
4). Memiliki sikap Kreatif dan Inovatif.
Profesionalisme dapat berkembang secara optimal pada individu yang memiliki sikap kreatif dan inovatif. Yaitu terletak pada mereka yang selalu berusaha mencari cara baru dalam mengatasi berbagai masalah dalam perusahaan (problem solving).
Beberapa perusahaan yang secara formal telah menjalankan Gerakan Moral Bersih Transparan dan professional, antara lain PT. Pos Indonesia, PT. Krakatau Steel dan PT. Ratelindo. Sebenarnya cukup banyak perusahaan yang telah mempraktekkan bersih Transparan dan Profesional (BTP), hanya saja belum diformalkan dalam suatu keputusan manajemen perusahaan. Beberapa waktu yang lalu Kamar Dagang dan Industri (KADIN) bekerjasama dengan pihak-pihak terkait telah mencanangkan program Gerakan Moral Bersih Transparan dan Profesional di kalangan perusahaan yang bergabung dengan KADIN. Selain itu KADIN juga telah menyusun Modul Gerakan Moral Bersih Transparan dan Profesional (BTP) dan modul Good Coorporate Governance (GCG) serta modul Kampanye Nasional Anti Suap. Semoga semakin banyak perusahaan yang sadar akan pentingnya Gerakan BTP tersebut sebagai salah satu implementasi GCG di perusahaan.
DIMENSI MORAL DALAM GCG
1. Konsep Moralitas
GCG adalah suatu proses dan struktur yang digunakan untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan untuk meningkatkan nilai perusahaan (corporate value) dalam jangka panjang dengan memperhatikan kepentingan stakeholders berlandaskan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moral dan etika bisnis. Konsep GCG telah muncul di Amerika Serikat sejak tahun 1980-an dan mengalami perkembangan cukup pesat akhir abad 20. Beberapa waktu yang lalu muncul dua skandal kebangkrutan perusahaan di Amerika Serikat yang menghebohkan kalangan dunia usaha. yaitu kasus Enron dan Worldcom. Hal tersebut mengingatkan kepada kita bahwa praktek bisnis yang melanggar etika (unethical business practices) ternyata terjadi di negara yang sangat mengagungkan prinsip GCG. Skandal tersebut terjadi karena diabaikannya aspek moral yang terkandung dalam prinsip GCG, terutama prinsip keterbukaan (transparency) & pengungkapan (disclosure) serta prinsip akuntabilitas (accountability) dalam pengelolaan perusahaan. Hal tersebut dapat terjadi karena dalam penerapan GCG hanya mengandalkan kepercayaan terhadap manusia sebagai pelaku bisnis dengan mengesampingkan aspek dimensi moral yang bersumber dari ajaran agama. Pada hal sebagus apapun sistem yang berlaku di perusahaan, apabila karyawan dan/ atau manajemen berperilaku menyimpang dan melanggar etika bisnis maka dapat terjadi praktek kecurangan (fraud) yang sangat merugikan perusahaan yang berakhir dengan kebangkrutan.
2. GCG & ajaran agama
Konsep tentang GCG secara universal sangat erat kaitannya dengan ajaran agama-agama yang ada. Prinsip-prinsip GCG ternyata selaras, khususnya dengan ajaran agama Islam. Dimensi moral dari implementasi GCG antara lain terletak pada prinsip akuntabilitas (accountability), prinsip pertanggungjawaban (responsibility), prinsip keterbukaan (transparency) dan prinsip kewajaran (fairness).
Ary Ginanjar Agustian, penulis buku best seller Emotional Spiritual Quotient (ESQ), dalam bukunya yang berjudul “Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan (2003 : 51-52)”, menyatakan bahwa GCG, sebenarnya adalah sebuah upaya perusahaan untuk mendekati garis orbit menuju pusat spiritual, seperti transparency (keterbukaan), responsibilities (bertanggungjawab), accountabilities (kepercayaan), fairness (keadilan) dan social awarness (kepedulian sosial). Sikap kejujuran, bertanggungjawab, bisa dipercaya dan diandalkan serta kepekaan terhadap lingkungan social, itulah yang menjadi tujuan GCG. Jika dibandingkan dengan sikap Nabi Muhammad SAW 15 abad yang lalu, seperti honest (siddiq), accountable (amanah), cooperative (tablig), smart (fathonah), atau dengan kata lain : jujur dan benar, bisa dipercaya, bertanggungjawab, memiliki kecerdasan serta peduli terhadap lingkungan / sosial. Menurut Ary Ginanjar, perbedaan signifikan terletak pada jenis drive atau motivasinya. Motivasi demi kepemilikan materi dan pemuas ambisi seringkali menjadi dua motif utama sesorang menerapkan GCG. Hasil yang akan diraih apabila GCG bermotif hanya untuk pemuasan materi, akan berujung pada berbagai skandal, seperti Enron Gate, World Com Gate, Arthur Andersen Gate, juga skandal Global Crossing dan Tyco. Pada akhirnya, skandal tersebut berakhir dan bermuara pada kehancuran.
Menurut Umer M. Chapra, dalam Islam and Economic Chalenge (2002) yang dipublikasikan melalui Islamic economic series no. 17 oleh The International Institution of Islamic Thougt , menyatakan bahwa dalam sistem ekonomi islam yang telah diterapkan pada beberapa negara muslim antara lain menggunakan prinsip syariah yang lebih menekankan pada aspek harmoni. Prinsip syariah erat sekali hubungannya dengan prinsip GCG, karena lebih menekankan pada bagi hasil (profit sharing) yang berarti lebih menonjolkan aspek win-win solution, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dalam berbisnis.
Burhanuddin Abdullah,Gubernur Bank Indonesia, pada acara 2nd Islamic Financial Services Board (IFSB) International Summit di Doha, Qatar, tanggal 24 – 25 Mei 2005 yang lalu, telah menyampaikan pandangan bahwa penerapan GCG di lembaga keuangan Islam perlu dilakukan melalui berbagai pendekatan yang sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku secara spesifik di suatu negara maupun nilai-nilai GCG yang berlaku umum di dalam menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.
Menurut Burhanudin, Penerapan GCG dapat berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain atau satu negara dengan negara lain mengingat standar dan prinsip-prinsip GCG sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan standar etika yang ada pada negara tersebut, seperti budaya, ketentuan hukum, business practices, dan kebijakan-kebijakan pemerintah serta nilai-nilai lainnya. Topik yang diangkat dalam pertemuan tersebut adalah upaya pengembangan dan peningkatan efektifitas good corporate governance pada industri jasa keuangan Islam. Pada kesempatan tersebut , Madzlan Mohammad Hussein, Project Manager IFSB, menyatakan bahwa saat ini sedang merumuskan ketentuan tentang GCG untuk lembaga keuangan Islam. Diperkirakan pada tahun 2005 konsep GCG sudah selesai dan bisa diterapkan pada lembaga keuangan Islam, terutama yang menjadi anggota IFSB.
Selain itu dalam Forum IFSB tersebut telah disepakati bahwa pemahaman terhadap nilai-nilai GCG yang bernilai Islami oleh industri jasa keuangan Islam akan berdampak pada tercapainya 3 tujuan penerapan GCG yaitu:
a. Semakin meningkatnya kepercayaan publik kepada lembaga keuangan Islam.
b. Pertumbuhan industri jasa keuangan Islam dan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan akan senantiasa terpelihara.
c. Keberhasilan industri jasa keuangan Islam dalam menerapkan GCG akan menempatkan lembaga keuangan Islam pada level of playing field yang sejajar dengan lembaga keuangan internasional lainnya.
Lembaga keuangan Islam di Indonesia baik yang bergerak di bidang perbankan, asuransi, reksa dana dan lainnya perlu menjalankan prinsip GCG dalam praktek bisnis sehari-hari. Peranan Dewan Syariah Nasional (DSN) sangat penting agar pelaksanaan GCG di lembaga keuangan Islam dapat berjalan dengan lancar. Dalam hal ini, DSN perlu melakukan sosialisasi akan pentingnya prinsip GCG untuk meningkatkan kinerja bisnis di lembaga keuangan Islam. Selain itu DSN perlu melakukan kerja sama dengan pihak Komite Nasional mengenai Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) serta Lembaga yang memiliki concern terhadap implementasi GCG di perusahaan, misalnya Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) dan The Indonesian Intitute for Corporate Governance (IICG). KNKCG atau National Committee for Corporate Governance didirikan oleh Pemerintah pada tanggal 19 Agustus 1999. KNKCG telah memprakarsai dan memantau perbaikan di bidang corporate governance di Indonesia serta telah menyusun draft Pedoman GCG (Code for Good Corporate Governance) yang dapat digunakan oleh perusahaan-perusahaan dalam menerapkan GCG.
FCGI yang didirikan pada tanggal 8 Februari 2000 oleh 5 (lima) asosiasi bisnis dan profesi, yaitu Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Ikatan Eksekutif Keuangan Indonesia / the Indonesian Financial Executives Association (IFEA), Ikatan Akuntan Indonesia – Kompartemen Akuntan Manajemen (IAI-KAM), Perkumpulan Indonesia Belanda / the Indonesian Netherlands Association ( INA), dan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) memiliki tujuan untuk meningkatkan kesadaran dan mensosialisasikan prinsip dan aturan mengenai Corporate Governance kepada dunia bisnis di Indonesia dengan mengacu kepada international best practices sehingga mereka dapat memperoleh manfaat dalam melaksanakan prinsip dan aturan yang sesuai dengan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).
IICG merupakan organisasi independen yang didirikan pada tanggal 2 Juni 2000 bertujuan untuk memasyarakatkan konsep, praktek, dan manfaat Corporate Governance kepada dunia usaha khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Kehadiran IICG dimaksudkan sebagai wadah pusat pengkajian dan pengembangan masalah Tata Kelola Korporasi di Indonesia.
Adanya kerjasama yang erat antara DSN, lembaga keuangan Islam serta Lembaga yang concern terhadap Implementasi GCG tersebut, diharapkan agar keberadaan lembaga keuangan Islam di Indonesia dapat memberikan manfaat kepada masyarakat (publik), sehingga Islam sebagai rahmatan lil alamin dapat segera terwujud.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Etika bisnis memegang peranan sangat penting dalam rangka implementasi GCG. Code of Corporate and Business Conduct merupakan pedoman bagi seluruh karyawan & pimpinan perusahaan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Agar mudah dipelajari dan dijadikan referensi, maka Code of Corporate and Business Conduct tersebut dapat diterbitkan dalam suatu “buku saku” dan dibagikan kepada seluruh karyawan & pimpinan perusahaan.
2. Gerakan Moral Bersih Transparan dan Profesional (BTP) mengandung nilai-nilai moral dan prinsip dasar dari GCG yang bersifat universal. Gerakan ini perlu ditetapkan dengan Surat Keputusan Direksi (Top Management) sehingga memiliki landasan yang kuat dalam kegiatan operasional di perusahaan.
3. Implementasi GCG di perusahaan, termasuk lembaga keuangan Islam ternyata sangat sesuai dan dianjurkan dalam ajaran agama, terutama ditinjau dari dimensi moral dalam prinsip-prinsip GCG tersebut. Oleh karena itu seharusnya para ulama maupun rohaniawan turut mendukung implementasi GCG di berbagai perusahaan, sehingga aspek moral ikut berperan dalam mewujudkan GCG.
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, Burhanuddin : 2nd Islamic Financial Services Board (IFSB) International Summit , Doha, Qatar, 24 – 25 Mei 2005
Agustian, Ary Ginanjar : Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan , Arga, Jakarta, 2004.
Chapra, Umar M. : “Islam and Economic Chalenge” , Islamic economic series no. 17 , The International Institution of Islamic Thougt, 2002
Fujinuma, Tsuguoki, “Enhancing Corporate Governance –IFAC’s Initiatives and the Role of the Accountancy Profession”, makalah Konvensi Nasional Akuntansi IV, 2000.
Hardjapamekas, Erry Riyana : “Dimensi Perubahan dalam Implementasi Good Corporate Governance”, Makalah Seminar Nasional Akuntan Indonesia & Rapat Anggota Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Publik & Akuntan Manajemen, Surabaya, 19-21 April 2001.
Herwidayatmo : “Implementasi Good Corporate Governance untuk Perusahaan Publik Indonesia”, Majalah Usahawan No. 10 Th XXIX, Oktober 2000.
Keputusan Menteri BUMN No Kep-117/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang penerapan praktik GCG pada BUMN.
Raka, Gede, “Manajemen Perubahan untuk penerapan Good Corporate Governance”, anggota panel ahli dari The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) , Makalah Seminar Nasional Akuntan Indonesia & Rapat Anggota Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Publik & Akuntan Manajemen, Surabaya, 19-21 April 2001.
Tjager, I Nyoman dkk : Corporate Governance: Tantangan dan Kesempatan bagi Komunitas Bisnis Indonesia, PT Prenhallindo, Jakarta, Cetakan I, 2003.
www.bi.go.id
www.bumn-ri.com
www.fcgi.or.id
www.iicg.org
* Muh. Arief Effendi,SE, MSi, Ak, QIA Alumni S1 FE Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (1990) dan S2 Program Magister Akuntansi (MAKSI) Universitas Indonesia Jakarta (2001), bekerja sebagai Senior Auditor Operasional PT. Krakatau Steel dan Staf Pengajar tidak tetap pada beberapa perguruan tinggi di Jakarta (STIE Trisakti, FE Universitas Trisakti, FE Universitas Mercu Buana & Program Magister Akuntansi Universitas Budi Luhur).
sumber: http://muhariefeffendi.wordpress.com/2007/11/27/peranan-etika-bisnis-dan-moralitas-agama-dalam-implementasi-good-corporate-governance/
Sunday, December 21, 2008
Proposal Penelitian
Kepuasan Konsumen
Judul Penelitian:
“Pengaruh Kegiatan Promosi terhadap Kepuasan dan Peningkatan Jumlah Pelanggan Pada Restoran Steak& Ribs Kenyot Corp.”
I. LATAR BELAKANG
Sekarang ini banyak terdapat produk, baik berupa barang maupun jasa yang berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, dalam memperkenalkan produk tersebut bagian yang paling penting adalah bagaimana melakukan pemasaran produk tersebut dengan baik agar produk tersebut dapat dikenal dan menjadi tujuan konsumen untuk dikonsumsi. Program promosi merupakan saluran primer bagi komunikasi pesan kepada konsumen baik konsumen yang ada maupun nasabah potensial ( Stanton, 1996). Hal ini menuntut pihak penyedia jasa untuk mencermati strategi-strategi yang tepat dalam memasarkan produk dan jasa mereka. Karena konsumen dapat mengenal produk ataupun jasa suatu penyedia melalui sistem pemasaran yang berhasil telah dilakukan oleh penyedia jasa dan produk tersebut.
Dalam menilai keberhasilan pemasaran dapt dilihat dari perilaku konsumen atas kepuasan terhadap pelayanan serta promosi yang dilakukan oleh penyedia jasa dan produk.
Kepuasan konsumen sendiri diartikan sebagai suatu keadaan di mana harapan konsumen terhadap suatu jasa sesuai dengan kenyataan yang diterima oleh konsumen tersebut tentang kemampuan jasa tersebut. Jika jasa tersebut jauh di bawah harapan konsumen maka ia akan kecewa. Sebaliknya jika jasa tersebut memenuhi harapan konsumen, maka ia akan senang. Harapan-harapan konsumen ini dapat diketahui dari pengalaman mereka sendiri saat menggunakan jasa tersebut.
II. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah pokok yang hendak dibahas adalah mengenai:
1. Apakah kegiatan promosi berpengaruh terhadap kepuasan dan peningkatan jumlah pelanggan pada restoran Steak&Ribs Kenyot Corp?
2. Apa strategi dan kebijakan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan jumlah pelanggan?
III. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kegiatan promosi terhadap kepuasan dan peningkatan jumlah pelanggan. Selain itu, melalui hasil penelitian ini, dapat diketahui strategi dan kebijakan yang perlu diambil oleh pihak manajemen restoran untuk meningkatkan jumlah pelanggan.
IV. TINJAUAN PUSTAKA
Pemasaran suatu produk yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada dasarnya mengupayakan agar produk tersebut lebih dekat dengan konsumen.
Salah satu unsur pemasaran yang berpengaruh terhadap perilaku pelanggan restoran adalah paduan pengelolaan produk dan promotion mix (Oktobrino, 2003). Pengelolaan produk lebih menekankan bahwa pelanggan memerlukan jenis-jenis dan fasilitas layanan tertentu, seperti variable kualitas makanan, jenis menu dan sajian makanan, hadiah dan pelayanan. Sedangkan promotion mix adalah variable promosi yang menggunakan kombinasi iklan, sales promotion dan personal selling.
Menurut Juanda (2005) factor yang menjadi pertimbangan utama pelanggan dalam memilih restoran dan café adalah produk, pelayanan, promosi. Produk mencerminkan persepsi nasabah terhadap variasi dan kualitas produk serta jasa yang diberikan oleh restoran serta persepsi kualitas pelayanan para karyawannya sedangkan promosi mencerminkan persepsi pelanggan terhadap kegiatan sales promotion dan personal selling yang dilakukan.
V. METODE PENELITIAN
V.I Model
Penelitian ini menggunakan model deskriptif, yaitu model yang menggambarkan variable independent ataupun dependent.
V.II Objek Penelitian
Objek penelitian dari penelitian ini adalah kegiatan promosi yang dilakukan restoran Steak&Ribs Kenyot Corp terhadap para konsumen.
V.III Subyek Penelitian
Pelanggan dan pelayan restoran stek&Ribs Kenyot.
V.IV Data / Variabel
Data diperoleh dari data primer yaitu langsung dari pelanggan.berupa wawancara langsung dan pemberian kuisioner.
V.V Populasi dan Sampel
- Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pelanggan dan konsumen potensial restoran Steak&Ribs.
- Sampel
Sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 orang yang diambil secara random atau acak.
V.VI Variabel
- Jenis variasi makanan
- Pelayanan
- Promosi yang dilakukan
V.VII Indikator
- Kepuasan pelanggan
- Jumlah kedatangan pelanggan tetap dan konsumen potensial.
VI. RANCANGAN ANALISIS
Peneliti mengajukan suatu kerangka kerja konseptual di mana unsur promotion mix dihubungkan dengan jumlah kedatangan konsumen.
VII. KESIMPULAN
Promosi akan mempengaruhi terhadap kepuasan dan peningkatan jumlah pelanggan restoran secara signifikan. Bentuk promosi harus ditingkatkan serta di evaluasi setiap bulan dalam tujuan mempertahankan serta menambah jumlah pelanggan.
Usulan strategi
Manajemen restoran dapat melakukan suatu bentuk promosi yang bervariasi menurut keadaan yang konsumen inginkan, antara lain:
1. Pada akhir bulan dan pada hari-hari besar atau khusus, manajemen memberikan diskon kepada pelanggannya.
2. Menu baru yang disajikan berbeda setiap bulan serta tersedia pula menu paket.
3. Tema menu yang berubah atau tema restoran.
4. Dekorasi ruangan sesuai hari-hari special ( tahun baru, valentine).
5. Membuat kartu pelanggan yang memiliki banyak diskon-diskon khusus
6. Pelatihan khusus kepada pelayan restoran.
Saturday, September 20, 2008
Metode Riset

TUGAS METODE RISET
(Dosen: Prihantoro, Dr.)
Ø Judul Jurnal: PENGARUH TRUST IN A BRAND TERHADAP BRAND LOYALTY PADA
KONSUMEN AIR MINUM AQUA DI
Ø Alamat jurnal: http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/riana.pdf
Ø Nama Pengarang : Gede Riana
Jurusan Manajemen
Fakultas Ekonomi, Universitas Udayana, Denpasar
BULETIN STUDI EKONOMI Volume 13 Nomor 2 Tahun 2008
Analisis Jurnal :
Penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk mempelajari secara empirik pengaruh dari variabel trust in a brand yang meliputi brand characteristic, company characteristic, dan consumer – brand characteristic terhadap brand loyalty. Karena loyalitas merek (brand loyalty) merupakan suatu konsep yang sangat penting dalam strategi pemasaran. Keberadaan konsumen yang loyal pada merek sangat diperlukan agar perusahaan dapat bertahan hidup.
Merek yang diteliti adalah merek air minum Aqua, yang respondennya diambil dari para pengguna air minum Aqua yang ada di Kota Denpasar.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara bersama-sama dan parsial variabel trust in a brand berpengaruh signifikan terhadap brand loyalty. Pengaruh variabel trust in a brand terhadap brand loyalty adalah sebesar 0,971 dengan tingkat signifikan sebesar 0,000. Sebaliknya, secara parsial pengaruh variabel trust in a brand adalah sebagai berikut. Pertama brand characteristic berpengaruh signifikan terhadap brand loyalty dengan koefisien beta sebesar 0,668 dengan tingkat signifikan sebesar 0,000, di mana brand characteristic berpengaruh dominan terhadap brand loyalty.
Company characteristic mempunyai pengaruh signifikan terhadap brand loyalty dengan koefisien beta sebesar 0,224 dengan tingkat signifikan sebesar 0,000. Consumer – brand characteristic juga berpengaruh signifikan terhadap brand loyalty dengan koefisien beta sebesar 0,165 dengan tingkat signifikan sebesar 0,000.
Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam upaya meningkatkan loyalitas merek, pihak perusahaan harus senantiasa meningkatkan dan mempertahankan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan. Brand characteristik sebagai salah satu variabel yang berpengaruh dominan harus tetap dapat dikendalikan secara langsung oleh perusahaan.
Topik: Kesetiaan konsumen air mineral terhadap merek air mineral tertentu.
Oleh: Della Natalia/3EA01/10206218
Alamat Blog: http://ovendace.blogspot.com/